Membangun
Kesiapan Mental Pada Atlet
Keberhasilan
seorang atlet ditentukan oleh kesiapan fisik dan mental. Kondisi psikis atau
mental akan mempengaruhi performance atlet baik saat latihan maupun saat
bertanding. Coba Anda bayangkan, jika sebelum bertanding sang atlet mengalami
cek cok berat dengan keluarganya, amat mungkin jika situasi itu mempengaruhi
kestabilan emosi, daya konsentrasi dan menguras energi. Contoh lain, jika
sebelum bertanding sang atlet kurang memiliki kesiapan mental menghadapi lawan
yang berat sehingga timbul keraguan yang besar dan rasa tidak percaya diri yang
menghalangi kemampuannya untuk tampil optimal.
Oleh karena itu,
tidak ada salahnya jika sejak dini, soal membina kesiapan mental atlet menjadi
porsi yang penting agar masalah kepribadian dan konflik-konflik sang atlet
dapat dikelola dengan baik sehingga ia tetap tampil optimum.
Pentingnya Kesiapan
Mental Bagi Atlet
Stress sebelum
bertanding adalah hal yang lumrah, namun mampu mengelola stress atau tidak
adalah sebuah kemampuan yang harus ditumbuhkan. Stress bisa jadi pemicu
semangat dan motivasi untuk maju, namun stress berlebihan bisa berdampak
negatif. Tanpa kesiapan mental, sang atlet akan sulit mengubah energi negative
(misal, yang dihasilkan dari keraguan penonton terhadap kemampuan sang atlet)
menjadi energi positif (motivasi untuk berprestasi) sehingga akan menurunkan
performancenya (dengan gejala-gejala sulit berkonsentrasi, tegang, cemas akan
hasil pertandingan, mengeluarkan keringat dingin, dll). Bahkan sangat mungkin
jika sang atlet terpengaruh oleh energi negatif para penonton.
Faktor penentu
Urusan energi dan
emosi begitu signifikan dampaknya bagi prestasi dan penampilan sang atlet,
sementara kita tidak bisa mensterilkan atlet dari masalah yang datang dan pergi
dalam kehidupannya. Namun jika ditelaah, rupanya menurut Nasution (2007) ada
beberapa faktor yang menentukan mudah tidaknya seorang atlet terpengaruh oleh
masalah.
1. Berpikir positif
Bisa atau tidaknya
seorang atlet berpikir positif, bisa mempengaruhi mentalitasnya di lapangan.
Kemampuan menemukan makna dari tiap peluang, event, situasi, serta orang yang
dihadapi adalah cara untuk menimbulkan pikiran positif. Sering terdengar bahwa
pemain A atau B tidak terduga bisa memenangkan pertandingan padahal targetnya
adalah berusaha main sebaik mungkin. Alasannya, karena lawannya bagus dan
pertandingan ini jadi moment penting untuk meng up gradeĆ kualitas diri dan
permainannya. Artinya, sang atlet mampu melihat sisi lain yang membuat dirinya
tidak terbebani ambisi. Pikiran rileks dan focus pada permainan berkualitas
akhirnya mempengaruhi sikap atlet tersebut saat bertanding dimana ia jadi
berhati-hati dan cermat dalam proses, dan tidak grasah grusuh ingin cepat-cepat
mencetak skor.
Jadi, pikiran
positif bisa menggerakkan motivasi yang tepat, sehingga mengeluarkan besaran
energi dan tekanan yang tepat untuk menghasilkan tindakan konstruktif.
Dampaknya bisa beragam, bisa kerja sama yang baik, performance yang optimum,
atau pun kemenangan.
2. Motivasi
Tingkat motivasi dan
sumber motivasi atlet akan mempengaruhi daya juangnya. Kalau kurang
termotivasi, otomatis daya juangnya pun kurang. Kalau highly motivated, maka
daya juangnya juga tinggi. Kalau sumber motivasi ada di luar (ekstrinsik), maka
kuat lemahnya daya juang sang atlet pun sangat situasional, tergantung kuat
lemah pengaruh stimulus. Contoh, makin besar hadiahnya, makin kuat daya
juangnya. Makin kecil hadiahnya, makin kecil usahanya.
Yang paling baik
jika sumber motivasi ada di dalam diri, tidak terpengaruh cuaca apalagi
iming-iming hadiah. Atlet yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, maka sejak
awal berlatih dia sudah secara konsisten dan persisten mengusahakan yang
terbaik. Kepuasannya terletak pada keberhasilannya untuk mencapai yang terbaik
di setiap tahap proses latihan, bukan hanya saat bertanding. Masalah yang ada
pasti punya pengaruh, namun selama motivasi internalnya kuat, atlet tersebut
mampu untuk sementara waktu menyingkirkan beban emosi yang dirasa memperberat
gerakannya.
3. Sasaran yang
jelas
Mengetahui sejauh
mana dan setinggi apa sasaran yang harus dicapai, mempengaruhi tingkat daya
juang, usaha dan kualitas tempur atlet. Sementara, ketidakpastian bisa
melemahkan motivasi. Ketidakpastian ini bentuknya beragam. Kalau tidak jelas
siapa musuhnya, sasarannya, medan perangnya, tingkat kesulitannya, targetnya,
waktunya, akan membuat sang atlet kebingungan dan energi nya juga tidak fokus,
strategi nya pun tidak spesifik dan standar kualitas nya jadi tidak bisa
ditentukan, bisa terlalu rendah bisa juga terlalu tinggi. Dalam keadaan
membingungkan seperti ini, atlet jadi sangat rentan terhadap masalah.
4. Pengendalian
emosi
Ketidakmampuan
mengendalikan emosi bisa mengganggu konsentrasi dan keseimbangan fisiologis.
Pengendalian emosi tidak bisa muncul dalam semalam, karena sudah menjadi bagian
dari kepribadian atlet. Hal ini bukan berarti tak bisa dirubah, namun perlu
proses untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi dengan proporsional. Jadi,
kalau atlet tersebut masih punya masalah dalam pengendalian emosi, maka dia
lebih mudah terstimulasi oleh berbagai masalah apapun bentuknya, entah itu
kelakuan penonton / supporter, sikap pelatih, tindakan teman-temannya, dsb.
5. Daya tahan
terhadap stress
Jika tingkat stres
berada di atas ambang kemampuan sang atlet dalam memanage stresnya maka akan
mengakibatkan prestasi atlet menurun, namun jika tingkat stres berada dibawah
ambang maka atlet tidak akan termotivasi untuk berprestasi. Jika tingkat stres
berada pada level toleransi kemampuannya maka atlet akan mampu berprestasi.
6. Rasa percaya
diri
Kurangnya rasa
percaya diri akan mempengaruhi keyakinan dan daya juang sang atlet. Masalah
yang muncul saat berlatih maupun bertanding bisa saja memperlemah rasa percaya
dirinya, meski sang atlet sudah berlatih dengan baik. Apalagi jika masalah yang
dihadapi berkaitan dengan konsep dirinya. Misalnya, sang atlet selalu memandang
dirinya kurang baik, kurang sempurna, maka seruan "uuuuuu" penonton
bisa dianggap konfirmasi atas kekurangan dirinya, meskipun pada kenyataannya
atlet tersebut tergolong berprestasi.
7. Daya konsentrasi
Atlet yang punya
kemampuan konsentrasi tinggi, cenderung mampu mempertahankan performance meski
ada gangguan, interupsi atau masalah. Kalau daya konsetrasi atlet rendah, maka
ia mudah melakukan kesalahan jikalau terjadi interupsi baik saat latihan maupun
pertandingan.
8. Kemampuan
evaluasi diri
Kemampuan evaluasi
ini juga diperlukan untuk melihat hubungan antara masalah dengan
performance-nya. Tanpa kemampuan untuk melihat ke dalam, atlet akan terjebak
dalam masalah dan kesalahan yang berulang.
9. Minat
Jika si atlet
memang memiliki minat yang tinggi pada cabang olahraga yang dipilihnya maka ia
akan melakukan olahraga tersebut sebagai suatu kesenangan bukan sebagai beban.
10. Kecerdasan
(emosional dan intelektual)
Kecerdasan
emosional dan intelektual merupakan elemen yang dapat memproduksi kemampuan
berpikir logis, obyektif, rasional serta memampukannya mengambil hikmah yang
bijak atas peristiwa apapun yang dialami atau siapapun yang dihadapi.
Faktor-faktor tersebut
di atas menjadi PR bagi setiap atlet dan bukan semata-mata PR pelatih karena
justru faktor tersebut berkaitan erat dengan dunia internal sang atlet.
Keberadaan pelatih sangat penting, namun kemauan dan usaha keras pihak atlet
lebih menentukan tingkat keberhasilan maupun prestasinya. Inisiatif untuk
memperbaiki diri atau mengembangkan sikap mental positif lebih terletak pada
atlet dari pada pelatih. Bagaimana pun juga, perubahan yang dipaksakan dari
luar, hasilnya tidak efektif, malah bisa menimbulkan problem serius.
Peran pelatih dalam
membina kesiapan mental atlet
Tidak ada jalan
pintas untuk membina kesiapan mental seseorang termasuk atlet, dan tidak ada
jalan pintas bagi atlet untuk sampai pada prestasi puncak. Perlu kerja sama
yang baik antara atlet dengan Pembina atau pelatihnya. Menurut Karyono (2006),
pelatih diharapkan menjadi konselor yang mampu memahami karakter atlet
asuhannya dan bisa memberikan bimbingan yang konstruktif terutama untuk
membangun kesiapan dan kekuatan mental. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh
atlet:
1. Giving
encouragement than criticism
Sikap dan kata-kata
pelatih most likely akan didengar dan dipercaya oleh atlet asuhannya. Jika
pelatih mengatakan atletnya buruk, lemah, payah, bisa ditunggu dalam beberapa
waktu kemudian kemungkinan atlet tersebut akan lemah dan payah. Meski pelatih
dituntut untuk tetap jujur dalam memberikan opini dan penilaian, namun
hendaknya opini dan penilaian tersebut sifatnya obyektif dan rasional, bukan
emosional. Kata-kata kasar yang bersifat melecehkan atau menghina, lebih
menjatuhkan moral daripada menggugah semangat.
2. Respect
Relasi yang sehat
antara pelatih dan atlet jika di antara keduanya ada sikap saling menghargai.
Pelatih memotivasi, menempa mental dan skill ke arah pengembangan diri atlet.
Kemampuan untuk menghargai, membuat hubungan antara keduanya tidak bersifat
manipulative, saling memanfaatkan. Terkadang tanpa sadar, atlet memanfaatkan
pelatih maupun bakatnya sendiri untuk ambisi yang keliru dan pelatih juga
menggunakan atlet sebagai extension of her/his image. True respect, mendorong
pelatih untuk tahu apa kebutuhan sang atlet; dan mendorong atlet untuk
menghargai eksistensi pelatih sebagai orang yang mendukungnya mencapai
aktualisasi diri.
3. Realistic Goal
Sasaran realistik
harus ditentukan dari awal supaya baik pelatih dan atlet, bisa menyusun break
down planning & target. Sasaran harus menantang tapi realistis untuk
dicapai. Sasaran yang tidak realistik bisa membuat atlet minder, inferior, atau
jadi terlalu percaya diri, overestimate self karena terlalu yakin dirinya
sanggup dan pantas untuk jadi juara.
4. Problem Solving
Siapapun bisa
terkena masalah, baik pelatih maupun atletnya. Pelatih yang bijak mampu
mendeteksi perubahan sekecil apapun dari atlet asuhannya yang bisa mempengaruhi
kestabilan emosi, konsentrasi dan prestasi. Perlu pendekatan yang tulus untuk
membicarakan kendala atau problem yang dialami atlet supaya bisa menemukan
sumber masalah dan mencari penyelesaian yang logis. Jika sang atlet punya
masalah dalam mengendalikan kecemasan sebelum bertanding, maka pelatih bisa
mengajaknya menemukan sumber kecemasan dan mengajarkan untuk berpikir logis dan
rasional. Pelatih bisa memotivasi atlet mengingat momen-momen paling berkesan
yang dialaminya dan me review proses yang mendorong keberhasilan di masa lalu.
Selain itu, relaksasi progresif (relaksasi otot) dan latihan pernafasan juga
bermanfaat menurunkan ketegangan.
5. Self awareness
Atlet perlu
dibekali cara-cara pengendalian emosi yang sehat supaya ia bisa me-manage
kesuksesan maupun kegagalan secara rasional dan proporsional. Ketidakmampuan
me-manage kesuksesan bisa membuat atlet lupa daratan karena self esteemnya
melambung, sementara kegagalan bisa membuat atlet depresi karena melupakan
kemampuan aktualnya. Oleh sebab itu, atlet juga perlu didorong untuk mengenal
siapa dirinya, mengetahui dimana kelemahan dan kelebihannya secara realistik,
dan memahami di mana titik rentan diri yang perlu di kelola dengan baik. Jika
atlet punya pengenalan diri yang proporsional, ia cenderung lebih aware dan
prepare terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
6. Managing stress
and emotion
Managing emotion
juga terkait erat dengan pengenalan diri. Atlet yang bisa mengenal dirinya,
akan tahu kecenderungan reaksinya dan dampak dari emosinya terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pelatih perlu berdiskusi bersama
atletnya, hal-hal apa saja yang membuat atlet-atletnya merasa senang, marah,
sedih, cemas, dll dan mengenalkan alternative pengendalian emosi. Pengendalian
emosi yang sehat, akan mengembangkan ketahanan terhadap stress karena tidak ada
penumpukan emosi yang membebani diri dan membuat energy bisa digunakan untuk
hal-hal yang produktif.
7. Good
interpersonal relation
Hubungan baik dan
tulus, jujur dan terbuka antara atlet dan pelatih, bisa memotivasi atlet secara
positif. Rasa tidak percaya, tidak mau terbuka, jaim (jaga image), akan
mendorong hubungan kearah yang tidak sehat di antara kedua belah pihak. Sikap
terbuka dan jujur ini hendaknya sejak awal di tunjukkan oleh pelatih sebagai
role model bagi para atlet binaannya. Mengkomunikasikan tujuan, harapan,
kritikan (konstruktif), masukan, perasaan, pendapat, kendala bahkan terbuka
terhadap kekurangan dan kelebihan diri sendiri akhirnya bisa jadi budaya
positif yang membantu para atlet membangun sikap mental positif.
Bagaimana pun juga,
menang atau kalah merupakan hal yang biasa dalam sebuah pertandingan. Oleh
karenanya, setiap pelatih perlu mentransfer tidak hanya keahlian dan
ketrampilan namun juga sikap mental yang benar. Punya keahlian namun tidak
didukung sikap mental yang dewasa salah-salah bisa membawa dampak yang tidak
diharapkan. Semoga dengan pembahasan ini, baik dari pihak atlet maupun pelatih
sama-sama melihat pentingnya membangun sikap mental yang kuat untuk mendukung
prestasi atlet di lapangan, maupun dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Mari kita beri support atlet-atlet kita! Semoga bermafaat. Maju terus atlet
Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar